Cari Blog Ini

Jumat, 04 Februari 2011

SAP kOLOSTOMI

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)


A.    Topik
Perawatan Kolostomi

B.   Tujuan

a.      Tujuan Umum
Setelah mendapatkan penyuluhan selama 40 menit tentang perawatan kolostomi diharapkan peserta penyuluhan mampu memahami tentang perawatan kolostomi.
b.      Tujuan Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan tentang perawatan kolostomi, peserta penyuluhan diharapkan mampu :
1. Menjelaskan pengertian/ definisi kolostomi
2. Menjelaskan jenis-jenis kolostomi
3. Menjelaskan perawatan kolostomi
a. Menjelaskan perawatan kulit
b. Menjelaskan penanganan kantong drainase
4. Menjelaskan proses irigasi kolostomi

C.    Sasaran
1.      Primer
Ibu Dina klien yang tinggal di Desa Garung Rt 04/04, Garung Wonosobo
2.      Sekunder
Anggota keluarga klien Ibu Dina
3.      Tersier
Anggota keluarga lain yang tinggal disekitar rumah Ibu Dina

D.    Tempat
Rumah Ibu Dina Desa Garung Rt 04/04, Garung Wonosobo



E.     Waktu
( 40 menit ), Hari Sabtu 26 November 2010 jam 10.00 – 10.40 WIB
No
Kegiatan
Penyuluhan
Peserta
Waktu
1
Pembukaan
-      Mengucapkan salam
-      Memperkenalkan diri
-      Menyampaikan maksud dan tujuan
-      Membagi leaflet
-      Menjawab salam



-      Menerima leaflet
5 menit
2










Isi










-      Menjelaskan pengertian/ definisi kolostomi
-      Menjelaskan jenis-jenis kolostomi
-      Menjelaskan perwatan kolostomi
a.       Menjelaskan perawatan kulit
b.      Menjelaskan penanganan kantong drainase
-      Menjelaskan proses irigasi kolostomi
-      Memperhatikan

-      Memperhatikan
-      Memperhatikan
-      Memperhatikan

-      Memperhatikan

-      Memperhatikan
20 menit
3
Evaluasi
-      Evaluasi memberikan pertanyaan pada pasien

-      Menjawab pertanyaan

10 menit
4
Penutup
-      Membuat kesimpulan
-      Salam penutup
-      Memperhatikan
-      Menjawab salam
5 menit

F.     Materi

Terlampir


G.    Metode
a.       Ceramah
b.      Tanya jawab

H.    Media

a.       Lembar balik

b.      Leaflet

I.       Evaluasi

Setelah dilakukan penyuluhan selama 40 menit, klien dapat :
1. Menjelaskan pengertian/ definisi kolostomi
2. Menjelaskan jenis-jenis kolostomi
3. Menjelaskan perawatan kolostomi
a. Menjelaskan perawatan kulit
b. Menjelaskan penanganan kantong drainase
4. Menjelaskan proses irigasi kolostomi

Lampiran 1


KOLOSTOMI

A.    Definisi
Colostomi adalah  suatu operasi untuk membentuk suatu hubungan buatan antara colon dengan permukaan kulit pada dinding perut. Hubungan ini dapat bersifat sementara atau menetap selamanya. (llmu Bedah, Thiodorer Schrock, MD, 1983).
Colostomi adalah lubang yang dibuat melalui dinding abdomen ke dalam kolon iliaka untuk mengeluarkan feses (Evelyn, 1991, Pearce, 1993)
Colostomi adalah  pembuatan lubang sementara atau permanen dari usus besar melalui dinding perut untuk mengeluarkan feses (Randy, 1987).
Colostomi dapat berupa secostomy, colostomy transversum, colostomy sigmoid, sedangkan colon accendens dan descendens sangat jarang dipergunakan untuk membuat colostomy karena kedua bagian tersebut terfixir retroperitoneal.

B.     JENIS-JENIS KOLOSTOMI
Kolostomi dibuat berdasarkan indikasi dan tujuan tertentu, sehingga jenisnya ada beberapa macam tergantung dari kebutuhan pasien. Kolostomi dapat dibuat secara permanen maupun sementara.
a.   Kolostomi Permanen                     
Pembuatan kolostomi permanen biasanya dilakukan apabila pasien sudah tidak memungkinkan untuk defekasi secara normal karena adanya keganasan, perlengketan, atau pengangkatan kolon sigmoid atau rectum sehingga tidak memungkinkan feses melalui anus. Kolostomi permanen biasanya berupa kolostomi single barrel ( dengan satu ujung lubang).
Indikasi colostomy yang permanen terjadi pada penyakit usus yang ganas seperti carsinoma pada usus. Kondisi infeksi tertentu pada colon.

b. Kolostomi temporer/ sementara
Pembuatan kolostomi biasanya untuk tujuan dekompresi kolon atau untuk mengalirkan feses sementara dan kemudian kolon akan dikembalikan seperti semula dan abdomen ditutup kembali. Kolostomi temporer ini mempunyai dua ujung lubang yang dikeluarkan melalui abdomen yang disebut kolostomi double barrel.

C.    PERAWATAN KOLOSTOMI
1.      Pengertian
Membersihkan stoma kolostomi, kulit sekitar stoma , dan mengganti kantong kolostomi secara berkala sesuai kebutuhan.
2.      Tujuan
-          Menjaga kebersihan pasien
-          Mencegah terjadinya infeksi
-          Mencegah iritasi kulit sekitar stoma
-           Mempertahankan kenyamanan pasien dan lingkungannya

a.      Perawatan Kulit
Perlindungan sekitar kolostomi adalah bagian yang sangat pentig dari perawatan kolostomi, bila kulit disekitar  kolostomi teriiritasi (berwarna merah ataupun basa). Membantu menyembuhkan area tersebut secepat mungkin menjadi suatu hal yang sangat penting. Mencuci area tersebut dengan sabun ringan, membersikan barier protektif disekitar stoma, dan mengamankan dengan menggunakan kantong drainase.


ü  Langkah-langkah membersihkan area kolostomi :
-          Kulit dibersihkan dengan perlahan menggunakan sabun ringan, dan washlap lembab dengan lembut, adanya kelebihan barier kulit dibersihkan.
-          Bila idak mengguanakan kantong, petrolatum (vaseline) diberikan diatas salep
guna agar menjaga popok tidak lengket dengan salep.
-          Bila feses menempel pada kulit sekitar ostomi, bersihkan feses dan petrolatum tetapi pertahankan agar salep barier tetap menempela pada kulit.

b.      Penanganan kantong drainase
Kantong drainase akan tetap utuh untuk periode waktu yang berbeda. Kantong harus diganti dengan jadwal rutin atau lebih cepat dari jadwal apabila terjadi kebocoran. Setiap kali diganti area tersebut harus dibersihkan dan dikeringkan, dan barier baru harus dipasang. Disiang hari feses dapat dibuang atau dibersihkan dari kantong, kemudian kantong dapat diklem.

                                i.            Persiapan alat:
-          Washlap
-          Barier kulit
-          Kantong drainase
                              ii.            Pelaksanaan
a.       Siapkan alat
b.      Cuci tangan dengan sabun dan air, hitung sampai 10 dengan sambil mencuci kemudian bilas dengan air bersih dan keribgkan dengan kertas bersih atau handuk
c.       .Beritahu apa yang akan dilakukan.
d.      Lepas kantong dan barier kulit yang lama.
e.       Cuci kulit dan keringkan dengan perlahan.
f.       Perhatikan ada tidaknya kemerahan atau iritasi.
g.      Potong barier kulit sesuai dengan ukuran.
h.      Pasang barier kulit. Bila menggunakan barier jenis kulit. Bila menggunakan  barieer jenis berperekat, lepaskan dulu kertas perekatnya.
i.        Lepaskan penutup perekat dari kantong.
Tempatkwn kantong dengan stoma dibagian tengah dan tekan perlahan daari tepi luar stoma.
j.        Tutup ujung kantong dengan klem atau pengikat dari karet.
k.      Cuci tangan

D.    PROSES IRIGASI KOLOSTOMI

Irigasi kolostomi untuk mengosongkan kolon dari feses atau mucus, membersikan salauran usus bawah, dan membuat pola evakuasi teratur sehingga aktifitas kehidupan normal dapat dilanjutkan. Waktu yang tepat diirgasi dipilih, lebih sesuai setelah makan, sehingga waktu ini cocok dengan pola aktifitas pasien pascaoperatif. Irigasi diusahakan dilakukan pada waktu yang sama setiap hari.
Wadah pengirigasi berisi cairan NaCl dan air hangat dengan perbandingan 2: 1, misalkan air hangatnya 200 ml maka cairan NaCl nya 400 ml. Dan digantung 45- 50 cm diatas stoma. Balutan atau kantung diangkat. Prosedur berikut diikuti pasien dibantu untuk berpartisipasi dalam prosedur supsya belajar melakukan tanpa bantuan.
1.      Prosedur irigasi kolostomi :
a.      Pasang pengalas irigasi pada stoma
b.      masukakan cairan dalam cairan biarkan mengalir
c.       lumasi kateter/ selang dan masukan secara perlahan kedalam stoma. Pemasukan stoma tidak lebih dari 8 cm. Pegang selang secara perlahan,tetapi kuat, terhadap stoma untuk mencegah air mengalir balik.
d.      bila kateter sulit masuk, biarkan air tetap mengalir dengan perlahan sementara kateter terur dimasukan, tapi jangan memasukan kateter secara paksa.
e.       aliran cairan dalam dalam wadah pengirigasi masuk kedalamkoon dengan perlahan. Apabila kran lem selang dan biarkan klien istirahat. Cairan harus mengalir dalam waktu 5-10 menit.
f.       pegang selang pada tempatnya selama 10 detik setelah air dimasukan, kemudian secara perlahan diangkat 7.biarkan 10-15 menit agar seluruh isinya keluar. Kemudian keringkan dasar pengalas, dan lipat keatas.
g.      biarkan pengalas ditempatnya selama kira-kira 30 menit.
h.      bersihkan area dengan sabun ringan dan air, keringkan area tersebut
i.        ganti balutan atau kantong drainase.


E.     Komplikasi/Akibat Lanjut
1.Obstruksi/ penyumbatan
Penyumbatan dapat disebabkan oleh adanya perlengketan usus atau adanya pengerasan feses yang sulit dikeluarkan. Untuk menghindari terjadinya sumbatan, pasien perlu dilakukan irigasi kolostomi secara teratur. Pada pasien dengan kolostomi permanen tindakan irigasi ini perlu diajarkan agar pasien dapat melakukannya sendiri di kamar mandi.



2.Infeksi
      Kontaminasi feses merupakan factor yang paling sering menjadi penyebab terjadinya infeksi pada luka sekitar stoma. Oleh karena itu pemantauan yang terus menerus sangat diperlukan dan tindakan segera mengganti balutan luka dan mengganti kantong kolstomi sangat bermakna untuk mencegah infeksi.

3.Retraksi stoma/ mengkerut
Stoma mengalami pengikatan karena kantong kolostomi yang terlalu sempit dan juga karena adanya jaringan scar yang terbentuk disekitar stoma yang mengalami pengkerutan.

4.Prolaps pada stoma
Terjadi karena kelemahan otot abdomen atau karena fiksasi struktur penyokong stoma yang kurang adekuat pada saat pembedahan.

5.Stenosis
      Penyempitan dari lumen stoma

6.Perdarahan stoma


Daftar Pustaka
Potter, patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan ; Alih bahasa, renata komalasari : editor bahasa indonesia, Monica Ester. Jakarta:EGC.
Smeltzer, suzanne C.2001. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner & Suddarth ; alih bahasa, agung Waluyo; editor bahasa indonesia, Monica Ester. Jakarta : EGC
Wong, donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik; alih bahasa, Monica Ester; editor bahasa indonesia, Sari kurnianingsih. Edisi 4. jakarta: EGC 
Evelyn, 1991, Pearce, 1993

Kamis, 03 Februari 2011

Asfiksia


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia dan asidosis. Apgar skor yang rendah sebagai manifestasi hipoksia berat pada bayi saat lahir  akan memperlihatkan angka kematian yang tinggi.
Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia merupakan faktor terpenting yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstra uterin disamping itu juga  didapatkan bahwa sindrom gangguan nafas, infeksi dan kejang merupakan penyakit yang sering terjadi pasca afiksia. Penilaian statistik dan pengalaman klinis atau patologi anatomi menunjukkan bahwa keadaan ini merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir.
Angka kematian tertinggi  selama 24 jam pertama masa kehidupan neonatus, pada masa ini terjadi sekitar 40 % dari seluruh kematian dibawah usia 1 tahun. Dalam 2 dekade terakhir ini, angka kematian dan kesakitan pada neonatus mulai menurun, demikian pula perubahan tersebut tampak pada asfiksia neonaturum. Walaupun demikian perubahan ini tampaknya belum dapat memecahkan permasalahan asfiksia secara tuntas karena keadaan asfiksia ini masih berpengaruh terhadap kualitas bayi dikemudian hari. Pemantauan jangka panjang perlu dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan neurologi dan gangguan kognitif yang tinggi.
Maka dari itu penulis ingin mengetahui bagaimana perawatan klien dengan asfiksia di rumah sakit agar nantinya akibat yang ditimbulkan dari asfiksia tersebut dapat diminimalkan dengan adanya perawatan selama di RS

B.    Tujuan

1.     Tujuan umum
Setelah menyelesaikan kontrak belajar, saya mampu memberikan asuhan keperawatan pada neonatal dengan asfiksia
2.     Tujuan khusus
a.      Saya mampu  menyebutkan pengertian asfiksia
b.      Saya mampu menyebutkan etiologi asfiksia
c.      Saya mampu menjelaskan patofisiologi asfiksia
d.     Saya mampu menyebutkan manifestasi klinis asfiksia
e.      Saya mampu menyebutkan pemeriksaan diagnostik asfiksia
f.       Saya mampu menyebutkan penatalaksanaan BBL dengan asfiksia
g.      Saya mampu melakukan perawatan pada anak dengan asfiksia







BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    Pengertian

Asfiksia neonatus adalah suatu keadaan dimana saat bayi lahir mengalami gangguan pertukaran gas dan transport 02 sehingga penderita kekurangan persediaan 02 dan kesulitan mengeluarkan C02. ( A.H Markum, 2002 )
Asfiksia neonaturum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir ( Hutchinson, 1967 )
Jadi asfiksia adalah kondisi dimana bayi gagal dalam usaha bernafas spontan sehingga terjadi gangguan dalam pertukaran 02 dan C02

B.    Etiologi

1.     Faktor ibu
Hipoksi ibu, oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama anastesi, penyakit jantung sianosis,gagal pernafasan, keracunan karbon monoksida, tekanan darah ibu yang rendah.
Gangguan aliran darah uterus, kompresi vena kava dan aorta saat gravida,gangguan kontraksi uterus, hipotensi mendadak akibat perdarahan, hipertensi pada penyakit eklamsia
2.     Faktor plasenta
Asfiksia terjadi akibat gangguan mendadak pada plasenta seperti solusio plasenta, perdarahan
3.     Faktor fetus
Kompresi umbillikus, tali pusat menumbung, lilitan tali pusat, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir
4.     Faktor neonatus
Pemakaian obat anastesi, trauma yang terjadi akibat persalinan, kelainan kongenital seperti : hernia diafragmatika, atresia/stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru

C.    Patofisiologi

Pada penderita asfiksia telah dikemukakan bahwa gangguan pertukaran gas serta transport 02 akan menyebabkan berkurangnya penyediaan 02 dan kesulitan pengeluaran C02. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan tergantung dari berat dan lamanya asfiksia fungsi tadi dapat reversibel atau menetap, sehingga menimbulkan komplikasi, gejala sisa, atau kematian penderita. Pada tingkat permulaan, gangguan ambilan 02 dan pengeluaran C02 tubuh ini mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik. Apabila keadaan tersebut berlangsung terus, maka akan terjadi metabolisme anaerobik berupa glikolisis glikogen tubuh. Asam organik yang terbentuk akibat metabolisme ini menyebabkan terjadinya keseimbangan asam basa berupa asidosis metabolik. Keadaan ni akan menganggu fungsi organ tubuh, sehingga mungkin terjadi penurunan sirkulasi kardiovaskuler yang ditandai oleh penurunan tekanan darah dan frekwensi denyut jantung
Pathway :
Terlampir

D.    Manifestasi klinik

1.     Vigorous baby : skor Apgar  ( 7 – 10 ). Bayi dianggap sehat, tidak perlu tindakan istimewa.
2.     Mild moderat asfiksia ( asfiksia sedang ) Apgar skor ( 4 – 6 ), pemeriksaan fisik ditemukan  frekuensi jantung kurang dari 100 / menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, reflek iritabilitas tidak ada.
3.     Asfiksia berat, apgar skor ( 0 – 3 ), pemeriksaan fisis ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100 / menit, tonus otot buruk, sianosis berat, reflek iritabilitas tidak ada.
Asfiksia berat dengan henti jantung, dengan keadaan bunyi jantung menghilang post partum, pemeriksaan fisis lain sama dengan asfiksia berat

E.    Pemeriksaan Diagnostik

1.     Analisis gas darah ( ph kurang dari 7,20 )
2.     Penilaian apgar scor meliputi ( warna kulit, usaha bernafas, tonus otot )
3.     Pemeriksaan EEG dan CT scan jika sudah terjadi komplikasi
4.     Pengkajian spesifik
Pengkajian
Stadium 1
Stadium 2
Stadium 3
Tingkat kesadaran
Tonus otot
Postur
Reflek tendon
Reflek moro
Pupil

Kejang
lamanya
Sangat waspada
Normal
Normal
Hiperaktif
Kuat
Midriasis

Tidak ada
<24 jam
Lesu ( letargi )
Hipotonik
Flexi
Hiperaktif
Lemah
Miosis

Lazim
24-14 hari
Stupor, koma
flasid
deserebrasi
tidak ada
tidak ada
anisokor, reflek cahaya tidak ada
kejang,deserebrasi
beberapa hari sampai beberapa minggu


F.     Penatalaksanaan medis
1.     Pengawasan suhu: jangan biarkan bayi kedinginan, penurunan suhu tubuh akan mempertinggi metabolisme sel jaringan sehingga kebutuhan oksigen meningkat.
2.     Pembersihan jalan napas: saluran napas atas dibersihkan dari lendir dan cairan amnion. Tindakan dilakukan dengan hati – hati tidak perlu tergesa – gesa. Penghisapan yang dilakukan dengan ceroboh akan timbul penyulit seperti spasme laring, kolap paru, kerusakan sel mukosa jalan napas. Pada Asfiksia berat dilakukan resusitasi kardio pulmonal
3.     Rangsangan untuk menimbulkan pernapasan: Bayi yang tidak menunjukkan usaha bernapas 20 detik setelah lahir menunjukkan depresi pernapasan. Maka setelah dilakukan penghisapan diberi O2 yang cepat kedalam mukosa hidung. Bila tidak berhasil dilakukan rangsang nyeri dengan memukul telapak kaki. Bila tidak berhasil pasang ET.


 
BAB III

RESUME


A.    Studi Kasus
Bayi SR, umur 1 hari lahir dengan SC atas indikasi partus macet dan ketuban pecah dini. Bayi berjenis kelamin perempuan lahir dengan apgar scor 6 – 7 – 9 dari seorang ibu G5P4A0, kehamilan 39 minggu. BBL 3100 dengan panjang badan 51 cm.
Keadaan umum bayi sadar, lemah dan kurang aktif, akral dingin, capilary refil kurang dari 3 detik, klien saat ini berada di infant warmer. Adapun HR 136 x permenit, RR 36 X permenit, dan suhu 37 x permenit. Klien dibantu O2 28% nasal, terpasang infus umbilikalis dengan cairan D10% 10 tetes/menit.
Hasil pemeriksaan darah meliputi Hb 15,3 gr%, Ht 45,2 %, leukosit 17100 mg/dl Trombosit 214.000 mg/dl, glukosa 84 mg/dl, BUN 24 gr/dl, urea 1,19 mg/dl. Adapun pemeriksaan GDA meliputi PH 7,312, PCO2 13,4, PO2 157, HCO3 6,8.
Dari pengkajian tersebut diddaptkan 3 masalah keperawatan yaitu resiko gangguan perfusi jaringan, resti tidak afektifnya termoregulsi dan resti infeksi.

B.    Hasil diskusi dengan expert
1.     Expert I
Kasus Asfiksia  banyak terjadi, dan yang masuk ke ruang PBRT hanya yang  Asfiksia sedang sampai berat. Etiologi dari kasus asfiksia yang terjadi pada bayi SR  karena ibu mengalami partus macet dan bayi dicurigai mengalami fetal distress karena aliran darah ke bayi tidak adekuat akibat penekanan pada vena dan adanya his. Dan setelah lahir bayi mengalami asfiksia sedang, terjadinya asfiksia tersebut dikarenakan ada gangguan aliran darah yang mensuplai darah ke bayi. Apalagi kelahiran bayi SR dengan SC dan menggunakan general anastesi, dikhawatirkan bayi akan mengalami depresi pusat pernafasan akibat pengaruh anastesi yang diberikan ke ibu.
2.     Expert II
Bayi SR memang saat ini tidak mengalami asfiksia yang berat bahkan dari berbagai pemeriksaan didapatkan hasil yang normal atau mendekati normal, namun demikian bayi SR tetap dirawat di PBRT untuk observasi lebih lanjut. Adapun untuk perawatanya, bayi diberikan bantuan O2 sehingga tugas perawat adalah memantau apakah pemberian O2 tersebut sudah benar – benar efektif atau tidak, selain itu perlu juga untuk menjaga kehangatan pada bayi baru lahir ini krena mereka masih dalam kondisi adaptasi sehingga pusat termoregulai belum berkembang sepenuhnya. Yang terpenting perawatan pada BBL adalah kepekaan seorang perawat setiap mendengar tangisan bayi karena 1 tangisan merupakan isarat yang bermacam – macam.

 
BAB 1V

PEMBAHASAN


A.    Penyebab asfiksia
Jika ditelaah dari riwayat kelahiran pada By SR dapat dikategorikan bahwa penyebab asfiksia pada bayi SR ini adalah dari faktor ibu dan faktor neonatus, dari ibu berupa adanya kelainan kontraksi saat pross kelahiran yang menyebabkan terjadi partus macet karena pembukaan jaln lahir tidak optimal selain itu pula adanya faktor pada janin yaitu akibat pemberian anastesi selama dilakukan tindakan SC dapat mengakibatkan depresi pada pusat pernafasan bayi karena jenis anastesi yang diberikan pada ibu dapat msuk juga ke janin melalui plasenta.

B.    Manifestasi klinik.
Secara teoritis disebutkan bahwa pada asfiksia sedang akan dijumpai frekuensi jantung kurang dari 100 / menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis. Tetapi selama pengkajian dilakukan ternyata frekuensi jantung bayi SR 136 kali permenit, tidak sianosis dan pemeriksaan analisa gas darah pun menunjukan hsil yang normal. Jika dilihat dari hasil pemeriksaan fisik maupun diagnostik memang tidak ada indikasi bahwa klien tersebut mengalami asfiksia, tetapi bayi SR tetap dipertahankan dlam pengawasan asfiksia karena ditinjau dari riwayat kelahirannya, bayi SR beresiko mengalami asfiksia, dan tidak berati jika dalam pemeriksaan fisik diketumukan tanda – tanda asfiksia, klien dianggap sudah terbebas dari asfiksia, namun yang perlu diwaspadai adalah pusat regulasi pernafasan pada bayi belum sepenuhnya berfungsi secara maksimal sehinggabisa dimungkinkan asfiksia tersebut dapat muncul.

C.    Permasalahan keperawatan yang muncul
1.     Resti gangguan pefusi jaringan
Dalam pengkajian penulis tidak menemukan data aktual yang mengarah pada munculnya masalah keperawatan, karena saat pengkajian diketemukan bahwa HR = 136 X permenit, capillary refil kurang dari 3 detik, tetapi  ad data yng paling tidak apat mendukung munculnya masalah tersebut adalah akral dingin karena penulis berpikir dari patofisiologi yang terjadi pada asfiksia bahwa ada kemungkinan dia mengalami gangguan kardiovaskuler yaitu penurunan cardiac output akibat dari hipoksemia yang terjadi pada sel akan mengalibatkan gangguan mtabolisme pada sel otot jantung sehingga kekuatan untuk berkontraksi pada otot tersebut melemah. Adanya penurunan COP tersebut akan mengakibatkan gangguan perfusi jaringan karena kebutuhan O2 di jaringan tentu saja berkurang akibat gangguan di sistem transportnya. Pada bayi SR ini telah mendapatkan tambahan bantuan O2 nasal 28% yang sebelumnya klien mendapat melalui head box sebesar 80% tetapi karena usaha nafas klien bagus pemberian O2 tersebut diturunkan konsentrasinya untuk melatih adaptasi klien terhadap fungsi kadiopulmonalnya.
2.     Resti tidak adekuatnya termoregulasi
Masalah termoregulasi merupakan masalah yang lazim terjadi pada bayi baru lahir tanpa membedakan jenis gangguan yng menyertai, hal ini disebabkan oleh karena maih belum maksimalnya pusat termoregulasi sehingga suhu tubuh bayi masih fluktuatif. Namun demikian pada bayi SR pengawasan terhadap pengaturan suhu ini hrus benar – benar dipantau karena kondisi yang hipotermia maupun hipertermia akan mempengaruhi fungsi metabolisme sel dalam tubuh klien yang nantinya akan berpengaruh juga terhadap kebutuhan O2 sebagai faktor penunjang metabolisma sel.
3.     Resti infeksi
Demikian pula resiko terjadi infeksi juga tinggi karena klien terpajan tindakan invasif. Selain itu pula repon imun klien masih lemah. Pada bayi yang dirawat harus mendapatkan penanganan yang ekstra protektif terhadap infeksi karena dikhawatirkan justru selama dalam perawatan klien akan terkena infeksi nosokomial, untuk itu diperlukan kesadaran dari tim keseatan ataupun keluarga. Untuk itu berbagai pihak harus melakukan tehnik aseptik sebelum mnyentuh klien ataupun melakukan prosedur invasif.






BAB V

PENUTUP


A.    Kesimpulan
Asfiksia terjadi karena gangguan pertukaran antara O2 dan CO2, adapun gangguan tersebut dapat terjadi selama prenatal, intranatal dan postnatal. Diagnosis asfiksia tidak hanya idlihat dari pengkajian fisik dan pemeriksaan penunjang, namun riwayat selama prenatal, intranatal dan postnatal pun perlu dikaji. Untuk perawatan pada bayi dengan asfiksia perlu ditingkatkan karena bayi dengan asfiksia akan mengalami penurunan fungsi organ karena hipoksemia, apalagi kondisi tersebut dipengaruhi juga bahwa bayi masih dalam tahap adaptasi terhadap kehidupan ekstrauterin yang tentunya organ – organnya pun masih belum berfungsi maksimal.

B.    Saran
Dalam perawatan bayi dengan asfiksia perlu dilakukan :
1.     Pengawasan terhadap kebutuhan O2 klien, karena klien mengalami ganguan di kebutuhan suplai O2 nya, namun demikian pusat perhatian jangan hanya diselang O2 saja tetapi kita perlu juga memperhatikan hal – hal yang berkaitan dengan metabolisme basal klien yang juga berpengaruh terhadap kebutuhan O2
2.     Cuci tangan dengan tehnik aseptik setiap akan mendekati klien karena hal itu akan menurunkan resiko infeksi



DAFTAR PUSTAKA

A.H Markum.( 2002 ). Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI
Berhman, Kliegman & Arvin.( 1996 ). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Alih Bahasa               
            : A. Samik Wahab. Jilid 1. Jakarta : EGC

Staf pengajar IKA FKUI. ( 1995 ). Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 3. Jakarta : IKA
            FKUI
Parcis mary H. (1999). Dasar – Dasar Keperawatan Maternitas. Edisi 2. Jakarta :
           EGC
Purnawan J, DKK.(1989). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 2. Jakarta : media
          aeusculapius FKUI